Sabtu, 31 Desember 2011

cerpenku


DAMAI

Sederhana itu indah, sapalah, maka kau akan temukan kedamaian.
Kalimat itu selalu terngiang di benakku. Aku sadar kini aku  beranjak dewasa, aku bertekad harus bisa hidup mandiri apapun yang tejadi ke depannya. Aku mendaftar ke perguruan tinggi Negeri Malang dan ku diterima, orangtuaku tak menyetujuinya. Aku mencoba di perguruan tinggi swsta dengan jurusan  yang sesuai kemampuanku, tetapi apalah daya orangtuaku tak mampu membiayai. Hingga akhirnya, Bapak menyuruh aku tuk sekolah di perguan tinggi negeri Islam  yang tak sesuai hatiku, guru SMA, bahkan sampai keluarga besarku tak setuju dengan keputusan bapakku. Mungkin bapakku tahu yang terbaik untukku.
“Bu, Mengapa ku harus disana?”(merengek)
“Ya sudahlah nak, kami orangtua hanya mampu menyekolahkan kamu disana. Mbakmu juga ada disana, bapak- ibu bisa tenang karena ada yang jaga kamu.”Ibu menasehatiku
“Tetapi, aku tidak suka bu? Mb, Budhe, Pak de, Om, Bu lik juga tak setuju. Mereka bilang sekolah disana susah tuk cari kerja?”
“Nak, urusan kerja itu urusan Allah, itu bukan masalah kamu sekolah dimana? Yang penting itu kemampuanmu, makanya jika kamu ingin berhasil tirakat nak dengan segala keterbatasanmu!”
“Kalau aku ditertawakan sekolah disana gimana bu? Di Dakwah lagi? Aku tak mau bu?”( Aku menangis)
“Nak, jangan kau hiraukan mereka. Orangtuamu yang membiayai kamu dan orangtuamu merestuimu sekolah disana. Restu orangtua adalah restu Allah juga.”
“Ya sudahlah Bu.”( dengan ekspresi datar)
***
Waktunya makan malam,  saya, ibu, bapak, mb berkumpul di meja makan. Aku seperti orang yang kehilangan nafsu makan. Aku diam tanpa berkata-kata. Bapakku memperhatikanku tapi ku abaikan. Suasana di ruang makan pun hening. Bapak menasehati kami semua, hidup anugerah apalagi bisa makan seperti ini, nikmatnya bukan main. Walau dengan lauk tempe goreng dan sayur asem tetapi rasanya seperti makan sate, rasa kekeluargaan inilah yang selalu bapak rindukan. Orangtuamu memang tak mengajarkan kemewahan, bapak cuma pingin anak-anak bapak menjadi orang yang sederhana walau kelak kalian kaya raya.
“Pak, apakah hidup selalu harus dibawa sederhana?”tanyaku
“Ya, dari sederhana kamu akan damai” jawabnya
“Kenapa?”
“Karena buat apa kita kaya tetapi sombong, toh semua yang ada di dunia ini bukan milik kita kan? Hanya Allah yang boleh mewah, Allah Maha segalanya.”
“Ya, tetapi apa kalau pendidikan apakah pendidikan kita harus sederhana? Padahal, ilmu itu mahal kan pak?”
“Benar, tetapi lihatlah kondisi orang yang membiayai dulu apakah mampu atau tidak, Bapak tahu apa yang kamu maksud. Kamu masih marah karena kamu gak mau sekolah disana? Apa alasanmu nak?”
“Pak, kata orang-orang lulusan disana sulit cari kerja? Bukankah aku sekolah tinggi untuk mendukung aku kerja kelak?” sinisku menjawab
“Yang mendukung kerjamu itu adalah ilmu dan pengalamanmu, bukan lulusanmu darimana? Disitu juga ada ilmu Islamnya bukan?  Nilai positif buat kamu. Kamu malah tahu dan paham Islam itu seperti apa dan bisa kamu masukkan dalam kehidupan sehari-harimu yang oranglain mungkin gak mendapatkan seperti yang kamu dapat nak. Masalah kerja itu urusan Allah, berusaha, berdoa, dan istiqamah itu kunci keberhasilanmu.” Menasehatiku dengan gamblangnya.
 “Tetapi, aku tidak bisa ilmu agama Bapak?”
“Makanya belajar, kamu pasti bisa.”
“Ya sudahlah, aku coba pak.”
Malam telah larut, semua keluargaku telah terlelap tidur. Tetapi, mataku ini sulit untuk terpejam. Aku merenungi hidupku di masa depan aku akan jadi apa. Aku tak tahu apa ini yang terbaik untukku apa tidak? Ku menangisi perjalanan hidupku yang gak aku inginkan. Tuhan, tolong kuatkan aku, bimbing aku supaya ini semua berkah untuk hidupku ke depannya. Mata ini semakin sembab, perlahan mata ini terpejam dengan sendirinya.
***
Masa aktif kuliah pun berlangsung, aku harus mengikuti OPAK (Orientasi  Pengenalan Akademik). Aku mulai menuju ke  Semarang dengan niat aku menuntut ilmu. Langkah berat terasa di hati ketika aku duduk di bus. Aku masih belum yakin apakah ini memang  jalanku. Tak terasa telah sampai di depan kampus 1 IAIN Walisongo Semarang, ku harus mencari bus lagi menuju kampus 3. Sesampainya disana, aku seperti orang hilang, hanya tengok kanan kiri. Di ruang audit ternyata sudah banyak orang, aku hanya diam dan duduk . Tiba-tiba ada seorang wanita yang mendekatiku.
“Mbak, boleh aku kenalan?”
“Ya, boleh. Mbak namanya siapa?” tanyaku dengan senyuman manis
“Intan mb, kalau kamu namanya siapa?”
“Mila mb...”
“Jangan panggil mb ah, panggil saja namaku.”
“Ok.”
Dari perkenalan itu aku memiliki teman satu,  sifat kami hampir mirip, Kami selau bersama-sama. Hingga akhirnya, kami berkenalan dengan yang lainnya. Aku pun gak sendiri lagi seperti orang hilang. Selama seminggu aku menjalani OPAK, terasa lelah dan lama sekali, rasa-rasanya aku pingin pulang ke rumah. Di Semarang, aku kos, aku mulai merasakan hidup serba sendiri, sepi tanpa orangtua. Mau berkenalan dengan mbak kos pun rikuh. Hari-hariku selalu dengan Intan teman sekampusku.  Tiap malam, aku pun sulit tidur. Rasa takut menyelimutiku.
***
Dua bulan di Semarang, aku pun merasa sesuatu yang beda. Anak-anak sekampusku pergaulannya biasa-biasa layaknya seperti aku. Tak ada penampilan yang wah seperti yang aku lihat dikampus-kampus lainnya. Aku pun merasa ini emang jalanku. Hidup di lingkungan sederhana  membuat keadaanku damai. Aku tak perlu waktu lama untuk penyesuaian dengan lingkungan sekitarku. Aku mulai akrab dengan teman-teman yang lain dan aku mulai melirik kegiatan yang ada di kampus.Bertahan di Semarang cukup lama,  dan ini  saatnya ku pulang. kampung, senangnya hatiku. Sesampainya di rumah, ku disambut bapak dan ibuku dengan senyum mereka  yang indah.
“Assalammualaikum...”
“Waalaikumsalam,,, ”
“Gimana nak kabar kamu?”tanya Ibu
Alhamdulilah, pak baik.”
“Kuliahmu gimana?”Tanya Bapak
“Hmm,,, gimana ya pak?”
“Kamu gak betah di sana? Penyebabnya apa nak?” Wajah Bapak terlihat kuatir.
“Enak kok pak, teman-temannya enak diajak bergaul, kehidupan di sana juga sederhana pak.”
“Makanya, kenapa Bapak menyuruh kamu sekolah di sana. Karena Bapak udah tahu seperti apa kehidupan di sana, dan Bapak gak akan menyesatkan anak Bapak sendiri. Selama ini kamu hidup berlebihan nak, dengan kamu hidup sendiri di sana, dengan keuangan yang sudah diatur ibumu,  Bapak yakin kamu bisa hidup mandiri dengan kesederhanaan  yang ada disana.”
“(Hanya senyuman yang bisa aku perlihatkan)”



Tidak ada komentar:

Posting Komentar