Guru biasa diartikan oleh orang Jawa adalah digugu
lan ditiru. Guru rela mengabdikan dirinya untuk memberikan ilmunya untuk para
anak didiknya. Tak mengenal terik matahari ataupun dinginnya hujan, terkadang
kesehatan mereka tak pernah mereka diperdulikan. Semua itu dilakukan untuk para
anak didiknya agar mereka bisa cerdas bahkan mereka berharap anak didiknya bisa
melebihi mereka.
Pendidikan ada jenis pendidikan formal dan informal.
Pendidikan formal seperti pendidikan di sekolah umum, seperti SD, SMP, SMA dan
sejenisnya. Sedangkan informal seperti belajar mengaji, les, dan lain-lain. Disini
perlu kita amati dan cermati, mengapa PNS hanya untuk guru yang ada di
pendidikan formal saja. Sedangkan seperti Belajar mengaji yang ada di desa-desa
apa ada guru ngaji yang PNS? Kebanyakan dari mereka (guru ngaji yang ada di
desa-desa) adalah ikhlas. Tak ada penghargaan dari pemerintahan untuk mereka.
Padahal Tujuan mereka sama mencerdaskan anak bangsa dalam hal agama. Bayangkan
jika hidup ini tak paham dengan agama, bisa hancur moral manusia. Hanya bayaran
ucapan terima kasih unuk mereka yang telah ikhlas mengajarkan ilmu agamanya
untuk anak didiknya. Tak ada fasilitas
sedikit pun dari ulur tangan pemerintahan. Jika memerlukan bantuan itu
datang dari ulur tangan masayarakat yang peduli menghargai jasa mereka.
Fasilitas yang mereka butuhkan nantinya untuk anak didiknya. Tapi, lihatlah
para PNS, pemerintah memberikan fasilitas yang memadai untuk mereka. Mereka
diberi jaminan hari tua, jaminan kesehatan, bahkan rumah, mobil pribadi dan
lain-lain semua tercukupi bahkan cenderung berlebihan.
Dunia
pendidikan adalah dunia normatif, dunia penuh dengan nilai, Profesi guru itu
adalah “mendidik”, dimana pekerjaan ini sangat kental dan bahkan identik dengan
da’wah. Kedekatan ini pula mendekatkan peran guru dengan gelar ulul albab,
bahkan ‘ulama bagi guru-guru yang menekuni spesifikasi bidang khusus keagamaan
dalam Islam. Pada tataran normatif para ulama itu digelari dengan gelar yang
sangat tinggi, yakni “wara’satul anbiya”, sehingga secara genetik guru
merupakan “keturunan akademik” dari para nabi.
Sudah
tidak zamannya lagi Guru PNS yang tersertifikasi menjadi bagian dari warga
negara yang berkeluh kesah atas profesinya, karena memang tidak memiliki
pilihan lain, selain berusaha melaksanakan tupoksinya secara baik atau mundur
tergantikan dengan gelombang generasi yang lebih baik.
Sudah
tidak zamannya lagi guru kebakaran jenggot, ketika mendapatkan kritikan
perbaikan kinerja dari luar profesi, atau bahkan otokritik. Jangan menempatkan
posisi Guru PNS menjadi para malaikat yang suci dan bebas kritik atas
kinerjanya atau menapikkan adanya pola pendidikan ‘nyaah dulang” yang
mengintervensi keputusan-keputusan otoritas persekolahan, bahkan di
sekolah-sekolah RSBI sekalipun.
Kita
bukan pemberi tahu, melainkan pengingat.. Begitulah kira-kira kata padanan yang
tepat untuk kewajiban da’wah kita sebagai sebaik-baik ummat (khairu ummah) yang
memiliki tugas ta’muruuna bil ma’ruf wa tanhauna ‘anil munkar.
Indah,
ketika mendengar kedekatan tugas kita sebagai guru dengan para nabi,
insan-insan yang senantiasa mendapatkan perhatian Allah dalam perjalanan
hidupnya. Pada tataran ini, Allah sekali lagi menegaskan pada kita bahwa
profesi guru itu profesi yang sangat lekat dengan shirah kenabian, walau secara
syar’i kita meyakini bahwa Muhammad SAW merupakan Khatamun nabiyyin.
Penda’wah
adalah bukan pilihan yang akan menghadapkan kita pada kemegahan dunia secara
materil, melainkan sebuah perjalanan panjang berliku yang penuh dengan halangan
dan rintangan. Mengambil posisi dijalan da’wah berarti nawwaitu dengan sepenuh
hati mewakafkan diri pada shirah yang jauh dari dunia hedonistik dan
individualistik.
Pada
konteks Periode Da’wah Madaniyah, beberapa shahabat nabi tidak diberangkatkan
ke medan pertempuran, karena memiliki kemampuan menghafal ayat-ayat yang
diturunkan kepada Nabi (Al Quran dan Hadits Qudsi) serta tutur kata Nabi
(Hadits). Shahabat nabi yang istimewa seperti inilah yang kemudian
sehari-harinya disibukkan dengan kegiatan belajar-mengajar Agama islam, belajar
kepada nabi dan mengajar kepada para penganut Islam yang datang kemudian. Untuk
sahabat-sahabat seperti ini, atas perintah nabi, Baitul Maal yang menampung
zakat, infak dan shadaqah Kaum Muslimin, mengalokasikan dananya dengan
memasukannya pada “asnab fisabilillaah.”
Guru
yang sudah menyandang PNS adalah sekelompok warga negara yang diistimewakan
negara dengan mendapatkan penghidupan dari pajak yang dikumpulkan dari seluruh
warga negara. Mengapa semua warga negara ?. Jawabannya, karena semua barang
yang dikonsumsi oleh warga negara meiliki konsekuensi pembayaran pajak
langsung, terlepas dari besar atau kecilnya.
Pertanyaannya
yang harus dipikirkan pemerintah” apakah sudah adil sikap yang telah dilakukan
pemerintah untuk para pejuang tanpa jasa tersebut di luar guru PNS? Padahal
satu yang harus dipertimbangkan, mereka
para guru ngaji yang ada di desa-desa
juga turut mencerdaskan kehidupan bangsa sama dengan apa yang dilakukan
guru PNS?